Kebebasan beragama adalah bagian dari hak asasi kita dan penting sekali buat negara demokrasi. Nah, ada laporan dari SETARA Institute yang menunjukkan kalau dari tahun 2007-2022, ada 573 rumah ibadah yang mengalami gangguan, seperti penolakan, bongkar paksa, bahkan sampai ada kebijakan yang memiliki unsur keberpihakan atau nampaknya pilih kasih.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan awal Januari 2023 dan akan berlaku mulai tahun 2026 mengatur beberapa hal tentang kebebasan beragama. Contohnya, 'agama' itu sekarang engga cuman enam (Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu), tapi meliputi kepercayaan lainnya juga.
Ada beberapa pasal baru (303-305) yang menjamin kebebasan ibadah kita lebih baik lagi, misalnya larangan bikin ribut atau mengganggu orang yang lagi ibadah, larangan melecehkan orang yang lagi memimpin ibadah atau upacara agama, dan larangan mengotori tempat ibadah atau upacara agama. Bahkan, pasal 305 juga menyebut perusakan atau pembakaran tempat ibadah, ataupun benda yang dipakai buat ibadah, sebagai perbuatan tercela karena dapat melukai perasaan kelompok masyarakat yang bersangkutan.
Menurut salah satu tenaga ahli di Kantor Staf Presiden, delik jaminan keagamaan dalam KUHP baru ini sudah disusun jauh lebih baik. Istilah 'menghina' atau 'menodai' agama sudah dihapus, supaya engga ada keambiguan dan penafsiran yang subjektif yang malah jadi masalah buat para aktivis.
Sampai sekarang, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru sudah menunjukkan beberapa perbaikan dan kemajuan dalam memberikan perlindungan dan jaminan yang jelas.
Nah, pertanyaan yang tersisa sekarang adalah, terlepas dari kemajuan di atas, apakah masih ada kepentingan pihak tertentu yang dapat menyebabkan konflik kebebasan beragama di Indonesia?