Sejak 2009, perlindungan lingkungan hidup diatur oleh UU No. 23 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU ini membahas tentang gimana pemerintah, swasta, dan individu harus melindungi dan mengelola lingkungan. Penggunaan dan pengelolaan sumber daya alam seperti hutan dan pantai memang punya dampak yang besar terhadap kualitas lingkungan kita, contohnya akses ke air dan udara bersih.
Kalau kita lihat Laporan Tahunan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), deforestasi nasional menurun sebanyak 42% selama periode Kabinet Kerja 2014-2019. Menurut pemerintah, ini hasil dari penerapan kebijakan-kebijakan dari KLHK, seperti moratorium (pemberhentian sementara) penerbitan izin hutan primer dan gambut, dan inisiatif pengelolaan lestari lainnya.
Tapi di sisi lain, data dari WALHI dan Auriga menunjukkan, dari 53 juta hektar lahan yang diizinkan untuk usaha, 94.8% diberikan kepada perusahaan dan hanya 2.7 juta hektar yang ditujukan untuk rakyat biasa. Hal ini bisa membawa banyak risiko ke lingkungan.
Ditambah lagi adanya Perppu No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) yang memicu banyak perdebatan. Di Perppu ini ada pasal yang membuat perusahaan lebih mudah mendapatkan izin usaha dan investasi di bidang eksplorasi lingkungan dan sumber daya alam, yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan terbentuknya lapangan pekerjaan.
Nah, karena hal ini, banyak kelompok masyarakat yang bertanya-tanya, jangan-jangan penyederhanaan undang-undang dalam UU Ciptaker 2022 ini malah menghambat upaya perlindungan lingkungan jangka panjang yang sudah kita capai selama ini?